indoswara.net :Anggun Sofia Ardila
Setiap Agustus, kalender kita berubah menjadi panggung sandiwara. Tanggal 17 adalah babak pertama, di mana kita mengenakan pakaian terbaik, mengibarkan bendera yang luntur, dan menyanyikan lagu kebangsaan dengan semangat buta. Kita merayakan kemerdekaan, seolah-olah penindasan sudah berakhir total. Lalu, datanglah babak kedua: tanggal 18. Ini adalah “hadiah” dari pemerintah, hari cuti bersama yang ironis. Dan puncaknya, kita dihadapkan pada babak ketiga yang paling memilukan: sebuah angka 19, yang bukan tanggal, melainkan janji 19 juta lapangan pekerjaan. Ini bukan lagi soal angka, ini adalah soal nasib.
Mari kita bongkar satu per satu. Tanggal 18 Agustus 2025 ditetapkan sebagai cuti bersama nasional, sebuah kebijakan yang terdengar merakyat, tapi sejatinya membelah bangsa. Bagi para Aparatur Sipil Negara (ASN), ini adalah libur gratis. Tapi, bagi kami, para pekerja swasta dan buruh kontrak, ini adalah cuti yang harus dibayar. Surat Edaran Menaker secara terang-terangan menyebut bahwa cuti bersama akan memotong jatah cuti tahunan kami. Jadi, pemerintah seolah-olah memberi kita permen, tapi diam-diam mengambil uang saku kita. Seorang pekerja bahkan memprotes, “Untuk urusan libur saja pilih-pilih. Klaim cuti bersama itu hanya berlaku bagi instansi pemerintah”. Ini adalah wajah nyata ketidakadilan, di mana kemerdekaan dirayakan dengan perlakuan yang tidak setara, dan liburan yang seharusnya menyatukan, justru menciptakan jurang antara mereka yang punya jaminan dan kami yang terus dilanda ketidakpastian.
Setelah liburan yang tidak merata ini, kita dihadapkan pada realita pahit. Di sinilah angka 19 mengambil perannya, bukan sebagai tanggal, melainkan sebagai janji ambisius yang secara konsisten diulang-ulang oleh calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka selama kampanye. Janji 19 juta lapangan kerja, 5 juta di antaranya “green jobs” , yang katanya akan dicapai dalam lima tahun. Janji ini bukan lagi sekadar program, melainkan sebuah mantra kampanye yang dipasang setinggi langit. Pertanyaannya, apakah ini realistis? Para ahli memperingatkan bahwa “bonus demografi bisa jadi malapetaka kalau 19 juta lapangan kerja cuma ‘janji doang'”. Ini adalah ancaman serius, bukan lelucon. Jika jutaan anak muda produktif dibiarkan menganggur, bom waktu sosial akan meledak.
Lalu, apa kata data? Badan Pusat Statistik (BPS) merilis statistik yang indah. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2025 diklaim 4,76%, angka terendah sejak krisis moneter 1998. Bahkan, mereka mencatat ada 3,59 juta lapangan kerja baru tercipta. Tapi, tunggu dulu. Pemerintahan baru baru resmi menjabat Oktober 2024. Jadi, angka-angka positif itu adalah “warisan” dari pemerintahan sebelumnya, bukan hasil kerja keras pemerintahan yang sekarang. Di luar data di atas kertas itu, realitas di lapangan jauh dari kata baik. Laporan PHK terus bermunculan, dan antrean panjang di
job fair masih menjadi pemandangan yang menyedihkan. Ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara data makro yang dibuat seolah-olah makmur, dengan penderitaan nyata yang dirasakan rakyat. Jangan lupakan pula, investasi yang masuk saat ini “tidak ramah dengan perluasan kesempatan kerja” karena lebih “padat modal” dan “berteknologi tinggi”. Dulu, Rp1 triliun investasi bisa menciptakan 4.500 lapangan kerja, sekarang hanya 1.200. Artinya, yang kerja robot, kita cuma bisa gigit jari.
Terlebih lagi, klaim yang beredar bahwa janji 19 juta lapangan kerja itu “dipelintir media massa” telah secara resmi dibantah sebagai hoaks. Jadi, janji itu memang ada, dan rakyat berhak menagihnya.
Kemerdekaan sejati bukanlah sekadar perayaan tanggal 17, atau liburan di tanggal 18. Kemerdekaan sejati adalah ketika kita bisa meraih angka 19 juta lapangan kerja yang layak, di mana setiap anak bangsa bisa hidup dengan bermartabat. Mengklaim sudah merdeka, tapi masih ada ketidakadilan dan ketidakpastian kerja, itu namanya merayakan ilusi. Kami akan terus menagih janji ini, bukan dengan kerusuhan, tapi dengan tulisan dan suara yang tidak akan bisa dibungkam. Karena merdeka sejati itu bukan cuma di tanggalan, tapi juga di dompet dan di hati rakyat.